“Sayang, aku merasa
gagal jadi pacarmu”
“Tidak ada yang gagal”
Aku bukan orang yang
ingin menumpahkan kesalahan pada siapapun. Tapi aku pun enggan menyalahkan diri
sendiri. Meski aku tau selama ini aku bersikap di luar batas wajar. Mungkin begitu.
Aku juga masih enggan mengakui. Kulakukan itu karena aku tak mau kehilangan. Baiklah,
ku akui memang aku egois padanya. Aku terlalu memposisikan diriku bak ratu yang
harus dituruti segala maunya. Aku akan dengan cepat terserang rasa takut jika
ia hendak pergi jauh. Bukan keselamatannya yang aku takutkan, tapi hatinya yang
bagiku rentan diambil orang.
Beberapa orang menanyakan
apakah kekasihku ini laki-laki yang suka menggoda wanita, aku bilang tidak. Lantas
mengapa aku sering mengkhawatirkannya? Kupikir karena apa yang aku lihat di
sini. Bagaimana organisasi membentuk kenyamanan bagi dua insan. Terlebih kekasihku
ini orang nomor dua di fakultasnya. Dia begitu popular. Banyak gadis yang akan
menyerbunya. Tentu saja gadis-gadis tersebut tak akan pernah memikirkan kekasih
laki-laki ku ini. Begitu pikirku.
Aku tak ingin jadi
belenggu, nyatanya aku mengikatkan tali pada kakinya. Aku tak ingin terus
menahannya dalam duniaku, tapi aku enggan memberinya celah untuk keluar ke
dunianya. Sama saja. Iya, aku merasa gagal jadi kekasihnya. Atau mungkin jarak
yang membuatku gagal?
Mungkin jarak juga
salah.