Seorang penulis muda yang membawaku pada rangkaian
kalimat panjang ini. Sebuah angan-angan yang terjebak di kepalaku selama
berbulan-bulan lamanya, yang setiap hari memaksa untuk dituangkan pada sebuah
kata-kata yang dirangkai nan diindahkan. Seharusnya aku berterimakasih pada
penulis muda berambut kriwul itu,
tentu saja karena jasanya yang telah mengangkat rasa malas yang menindihku
selama ini. Membaca bukunya berkali-kali dan mengatakan betapa indah
sajak-sajaknya, mungkin cukup untuk mengungkapkan betapa berterimakasihnya aku
padanya. Pada kalimat yang Ia rangkai begitu indahnya. Tapi tentu saja untuk
semangat yang Ia tumbuhkan dalam diriku.
Namun hujan tak selamanya menemani, matahari akan
bersinar terang atau tetap mendung tanpa hujan. Yang terjadi ialah mendung
tanpa hujan. Berkabut dan dingin. Buku itu hilang. Seorang teman meminjamnya
dariku, lalu meninggalkannya di suatu tempat yang entahlah Ia pun tak tau. Ia
hendak mengganti dengan buku baru yang serupa tapi tentu terasa berbeda. Kubilang
tidak, lalu dengan cepat Ia melupakan insiden hilangnya buku itu, jelas berbeda
denganku yang terus berlarian mencari buku yang kusebut penolak hujan itu.
Haruskah marah? Tuhan sedang mengajariku untuk ikhlas.
Untuk apa aku marah, semangat yang kutuai dari buku itu tetap ada, sekalipun
buku itu entah di mana. Mungkin melebur bersama hujan, atau selamat di tangan
orang lain, yang kuharap bukan temanku
sendiri atau bahkan sang penulisnya.
Comments:
Posting Komentar