Rabu, 16 Januari 2013

MENDUNG SEPENINGGAL HUJAN




Seorang penulis muda yang membawaku pada rangkaian kalimat panjang ini. Sebuah angan-angan yang terjebak di kepalaku selama berbulan-bulan lamanya, yang setiap hari memaksa untuk dituangkan pada sebuah kata-kata yang dirangkai nan diindahkan. Seharusnya aku berterimakasih pada penulis muda berambut kriwul itu, tentu saja karena jasanya yang telah mengangkat rasa malas yang menindihku selama ini. Membaca bukunya berkali-kali dan mengatakan betapa indah sajak-sajaknya, mungkin cukup untuk mengungkapkan betapa berterimakasihnya aku padanya. Pada kalimat yang Ia rangkai begitu indahnya. Tapi tentu saja untuk semangat yang Ia tumbuhkan dalam diriku.

Namun hujan tak selamanya menemani, matahari akan bersinar terang atau tetap mendung tanpa hujan. Yang terjadi ialah mendung tanpa hujan. Berkabut dan dingin. Buku itu hilang. Seorang teman meminjamnya dariku, lalu meninggalkannya di suatu tempat yang entahlah Ia pun tak tau. Ia hendak mengganti dengan buku baru yang serupa tapi tentu terasa berbeda. Kubilang tidak, lalu dengan cepat Ia melupakan insiden hilangnya buku itu, jelas berbeda denganku yang terus berlarian mencari buku yang kusebut penolak hujan itu.
Haruskah marah? Tuhan sedang mengajariku untuk ikhlas. Untuk apa aku marah, semangat yang kutuai dari buku itu tetap ada, sekalipun buku itu entah di mana. Mungkin melebur bersama hujan, atau selamat di tangan orang  lain, yang kuharap bukan temanku sendiri atau bahkan sang penulisnya.

Comments:

Posting Komentar

Free Blog Template by June Lily